Mosba

Abduh Sempana
Karya : Asri Maulidi
(Siswa MTs NW Boro'Tumbuh)

Aku baru tau seperti apa Mosba itu, setelah aku masuk sekolah di MTs. Sebelumnya aku kira Mosba menakutkan, namun ternyata sangat menyenangkan sekali. Kita bisa mengenal teman-teman baru yang cukup banyak, kegiatan-kegiatan yang kita laksanakan juga sangat banyak yang membuat kita betah dan tidak ingin pelang. Selain itu pula kita bisa berkenalan dengan senior-senior yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng.

Tetapi, meskipun kakak senior itu ganteng dan canti-cantik, mereka sangat galak. Mereka selalu berusaha mencari-cari kesalahan kita. Maka salah sedikit saja kita langsung dberi sanksi-sanksi tertentu, jalan jongkok lah, pus up lah, bernyanyi lah, joget lah, dan sebagainya. Namun sungguh, apa yang telah dilakukan kepada kami itu semata-mata agar kami memiliki mental yang kuat dan pemberani.

Ketika hari terakhir Mosba aku pernah disuruh maju oleh Kak senior, namun aku menolak. Ketika itu aku disuruh bernyanyi dan kukatakan aku tak bisa bernyanyi.
“Hitungan ketiga kamu harus maju,” kata senior yang cantik itu.

“Kalau tidak, kamu akan mendapatkan hukuman yang lebih berat lagi.” Tambahnya.

Waduh, aku semakin takut dibuatnya. Lalu teman yang sebarisakan denganku membisikkan sesuatu. “Kamu jangan takut, mereka hanya bercanda saja”. Kuikuti saja nasihat temanku itu. Tiba-tiba sang senior marah-marah. Suara menggelegar meledak-ledak. “Wah galak juga ni orang,” ucapku dalam hati.

Sepertinya dia sudah tidak sabar dan semakin jenggkel melihatku, akhirnya dia pun ke depan menyeretku. “Seperti binatang aja di seret-seret,” ketus ku dalam hati lagi. Lalu tiba-tiba ia menyuruhku guling sepanjang lapangan. Kebetulan saat matahari sangat terik sekali, lapangannya juga berdebu, banyak batu kecil-kecil juga. Matanya semakin nanar menatapku.

“Ayo, guling kamu!” teriaknya.

Aku pun mulai berguling dan disaksikan oleh banyak teman. Di dalam hatiku sangat malu dan kesal sekali karena mengikuti bujukan temanku tadi. Inilah jadinya, aku menanggung akibatnya. Sambil menggerutu aku terus saja berguling hingga setengah lapangan. Tubuhku terasa terbakar oleh sengatan matahari. Bajuku kotor di penuhi debu. Wajah ku juga habis belepotan dengan tanah dicampur keringat hingga terlihat becek. Hingga di penghujung lapangan yang jaraknya sudah mencapai 100 meter lebih, tiba-tiba kepalaku pusing. Lalu aku berhenti sejenak. Aku seperti diantara sadar dan tidak. Bumi ini terasa terbalik. Aku sangat pusing, sungguh sangguh sangat pusing. perutku pun mulai mual dan akhirnya muntah-muntah.

Saat itu tak ada yang peduli denganku. Semuanya santai-santai saja. Mereka malah tertawa terbahak-bahak melihatku yang muntah-muntah itu.

“Ya, Tuhan, mereka seperti tidak berperikemanusiaan.”Aku sempat berpikir seperti itu.

Aku sudah tidak melihat siapa-siapa lagi. Perasaanku benar-benar hilang. Yang kupikirkan saat itu hanya Tuhan dan berharap tidak terjadi apa-apa pada diriku. Semoga Tuhan melindungi aku atas semua ini. Lalu tiba-tiba aku seperti berada di sebuah tempat yang sangat asing. Tempat itu sangat indah. Taman dengan bunga yang bermekaran menghiasi setiap sudut. Air kolam yang begitu jernih dengan ikan-ikannya yang berenang. Sungguh menakjubkan. Selama ini aku tak pernah menemukan tempat seindah itu.

“Satria, Satria…” Suara itu samar-samar ku dengar seperti memanngil.

Aku seperti merasakan sesuatu di keningku. Basah. “Apa ini kataku dalam hati.” Tiba-tiba seorang perempuan yang sangat cantik sudah berada di atas kepalaku.
“Kamu pingsan Satria.”

Aku pun terkejut dan lekas terbangun. Ternyata aku sudah di berada di ruang UKS. Aku ditemani seorang perempuan yang ternyata kakak senior yang menghukumku tadi. Aku menghembuskan nafas pelan-pelan. Aku seperti masih belum percaya dengan kejadian yang baru saja kualami. Lalu setelah aku disuguhkan air minum oleh kakak senior barulah aku benar-benar sadar.

“Maafkan aku ya Satria, aku menghukummu terlalu berat hingga terjadi sepeti ini.”

Aku hanya diam tidak menjawab apa-apa. Ia terus mengucapkan kata maaf itu padaku berulang kali. Hingga akhirnya aku pun hanya bisa menganggukkan kepala. kemudian ia tersenyum.

“Ini silakan dimakan rotinya, supaya Adik lebih tenang dan bertenaga.” Katanya lembut kepadaku. Namun sekali lagi aku hanya bisa diam. Ada perasaan malu juga yang hinggap di batinku.

Sejak kejadian aku tidak pernah dihukum lagi. Lebih-lebih oleh kakak senior yang menghukumku itu. Dan sejak itu pula aku mulai akrab dengannya. Aku selalu bertegur sapa setiap kali berpapasan dengannya. Namanya Nikmah, duduk di kelas IX. Dia adalah senior yang paling galak sekaligus paling cantik. Ruapanya dia juga sebagai ketua senior.

Akhinya, Mosba pun di penghujung acara. Pada tengah malam yang gelap seusai penggojlokan, kami di suruh membuat formasi berbundar di tengah lapangan. Kemudian di tengah-tengah sudah terlihat tumpukan kayu yang siap dibakar. Aku tidak sabar ingin melihat api unggun itu menyala. Pasti akan membuat sausana lebih hangat. Suhu saat itu sangat dingin membuat tubuhku menggigil, mungkin semua kami yang merasakn seperti itu. Lebih-lebih akibat penggojlokan tadi banyak diantara kami yang di rendam di parit-parit sawah yang airnya sangat kotor. Laki-laki dan perempuan semuanya diperlakukan sama. Jika tidak mampu menjawab soal-soal yang ditanyakan maka sanksinya di rendam. Itu terjadi pada pos terakhir, pos yang paling gawat yang dijaga oleh senior-senior yang agak besar-besar. Aku juga melihat Kak Nikmah di sana. Untunglah aku lolos dari pertanyaan-pertanyaan mereka saat itu, dan aku tidak mendapatkan hukuman apa-apa.

Api unggun pun akhinya menyala. Sorak sorai menyambut hangatnya kilatan si jago merah itu memecah kesunyian. Kami bernyanyi sesuka hati, tertawa, dan menari. Tak lama kemudian tiba-tiba suasana kembali sepi.

Bulu kudukku tiba-tiba merinding. Suasana yang tadinya begitu riang dan gembira tiba-tiba berubah menjadi pilu. Tak satu pun ada yang berbicara. Hanya terdengar nada-nada puitis mengalun menyayat kalbu. Lalu terdengar pula isak tangis yang lama-lama memenuhi langit-langit subuh.

“Suara Kak Nikmah, benar-benar menusuk hati kami ketika membaca puisi tentang ibu.”
Comments