Teman Sejati yang Abadi

Abduh Sempana
Karya : Wardatul Jannah
(Siswi MTs NW Boro'Tumbuh)

Pada masa yang lalu saat aku masih duduk di kelas VII MTs, aku selalu merasakan kesepian. Karena aku tidak mempunyai teman dekat seorang pun seperti teman-teman yang lain. Teman duduk di dalam kelas saja selalu bergonta-ganti pasangan, apalagi yang namanya teman sejati. Walau jujur saja, maksud teman sejati itu apa. Namun kusebut saja teman sejati karena itu yang sering disebut-sebut oleh orang, yaitu sosok teman yang memiliki sifat baik, yang jika kita salah dimaafkan, yang jika kita dalam kesusahan dibantunya, dikala kita sedih dihiburnya, dan yang dikala kita kesepian ditemaninya. Sungguh aku sangat merindukan seorang teman yang seperti itu.
Lihat juga: Lelaki Di Ujung Sunyi, Buku Kumpulan Cerpen Terbaru
“Ya, Tuhan. Alangkah sunyinya hidupku ini karena tidak memiliki seorang teman.”

Hari demi hari telah berlalu. Akhirnya aku pun duduk di bangku kelas IX. Di sana lah nasibku bisa sedikit berubah. Aku telah menemukan seorang sahabat. Mungkin inilah sahabat yang dulunya aku idam-idamkan itu. Namanya Dina. Aku sangat senang bisa berteman dengannya. karena kami selalu bisa saling mengerti satu sama lain. Bahkan kami seperti saudara kandung.

Beberapa hari kemudian, aku mendapat dua teman baru lagi yaitu Monita dan Intan. Monita yang sedang duduk di kelas VIII itu adalah adiknya Dina, teman sejatiku. Mereka semua sangat perhatian kepadaku. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan mereka.

Aku dan Dina sedikit memiliki persamaan nasip, di mana dulunya ia pun tidak memiliki seorang teman seperti aku. Dia suka menyendiri. Tetapi saat itu kami sudah merasa saling memiliki satu sama lain. Dia memiliki aku dan aku memiliki dia. Pada suatu hari entah mengapa tiba-tiba aku dan Dina berlainan persepsi. Setan mana yang berusaha meretakkan hubungan kami. Semua itu berawal ketika aku tidak menepati janjiku kepadanya. Saat itu rencananya kami mau membuat acara masak memasak di ruamahnya Dina. Namun karena saat itu aku sedang memilih bepergian dengan keluarga akhinya aku tidak jadi ke rumahnya. Memang aku yang salah. Dan aku mengakui kesalahanku itu tetapi dia diam saja ketika kucoba meminta maaf. Dia tidak berkomentar apa-apa. Sikapnya sangat dingin ketika itu.

Sejak kejadian itu aku merasakan diriku seperti yang dulu lagi. Aku merasakan kesepian itu bahkan merasakan lebih sepi lagi. Aku menyesali tindakanku yang salah itu. Sedangka Dina bisa saja merasa happy, karena kulihat ia selalu bersama Monita dan Intan yang memilih ver dengannya. Mungkin mereka menganggapku sudah begitu salah.

Setelah beberapa minggu berlalu , kami mulai saling menyapa satu sama lain. Dan aku selalu berusaha menyapa terlebih dahulu. Rupanya mereka juga sadar jika tidak baik memutuskan silaturrahmi. maka semenjak itu kami selalu bersama kembali bahkan lebih akrab dari sebelumnya. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah menyatukan kami kembali. Maka semenjak itu kami selalu bersama kembali bahkan lebih akrab dari sebelumnya.

Pada suatu hari aku kehilangan uang di sekolah. Aku tidak tahu jatuhnya di mana. Aku sangat gelisah karena uang itu akan kupakai untuk memotocopy pelajaran IPA. Bisa-bisa aku akan dimarahi oleh ibu guru karena belum bisa memotocopy. Kebetulan Ibu Ana terkenal galak. Aku pasrah.

Untunglah ada teman yang mau memberi aku pinjaman uang, namun sayang sekali uangnya tidak cukup. Buku yang akan kami fotocopy itu ternyata cukup tebal. Tetapi sudahlah, pikirku. Pasti Ibu Ana mengerti kalau aku menjelaskan kejadian kehilangan uang itu. Bu guru juga manausia kali, gumamku.

Pada hari itu aku melihat wajah Dina sangat pucat.

“Dina, kamu kenapa?”

“Muka kamu kok pucat begitu, kamu belum sarapan ya?” Tanyaku khawatir.

“Perutku sangat sakit.” Katanya sambil membungkuk menekan perutnya.

“Kalau begitu aku antar kamu pulang ya. Aku minta izin kepada Pak Guru dulu.”

Tanpa banyak bicara aku lekas ke kantor untuk meminta izin mengantarkan Dina. Namun karena lonceng tanda masuk telah berbunyi akhirnya Pak Yusuflah yang mengantarkan Dina pulang sedangkan aku disuruh masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran.

Aku sangat khawatir dengan keadaan Dina. Semoga dia tidak apa-apa.

Kegelisahanku semakin menjadi-jadi. Ditambah keributan di dalam kelas membuatku semakin bingung dan tidak nyaman. Ada yang bermain bola di dalam kelas, ada yang saling pukul, ada yang bernyanyi-nyanyi. Ah, rasanya aku ingin berteriak di saat-saat seperti itu. Dan tidak lama kemudian datanglah Ibu Ana yang akan menyampaikan pelajaran IPA. Sepi seketika, dan tak satu pun ada yang berani berkutik. Hingga lonceng pertanda pulang pun berbunyi. Aku berjalan beriringan dengan Monita dan Intan. Dina tidak ada di antara kami membuat terasa ada yang kurang. Satu persatu kami pun bepisah menuju rumah masing-masing.

Sebelum aku tiba di depan pintu gerbangku, seketika aku tersentak. Urat nadiku seakan terputus. Darahku seperti berhenti mengalir. Jantungku berdetak kencang.

“Dina....

“Dinaaaaaaaa.....” Teriakku.

Aku menutup telinga karena tak ingin mendengar suara dari corong masjid itu lagi. Aku berlari menabrak pintu gerbang rumahku. Pintu rumah kuhempas. Tas dan sepatu kulemparkan begitu saja di lantai kamar. Kemudian aku bergegas berlari menuju rumahnya Dina. Sesampainya di sana, sudah kudengar lantunan Surah Yasin Menggema. Aku merunduk lesu dan ingin berteriak sekuat-kuatnya namun aku malu. Kemudian aku pun menangis sejadi-jadinya di antara kerumunan orang yang sedang berziarah.

Kulihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Namun senyum itu masih terpaut pada bibirnya yang pucat, seakan tak ingin melihatku bersedih dan menangisi kepergiannya. Sedangkan aku seakan masih belum belum percaya dengan semua yang terjadi. Karena paginya aku bercengkrama dengannya di sekolah, ia yang meminjamkan aku uang pada Lusi untuk membayar fotocopy yang ternyata tidak cukup. Ia juga yang beralasan pada Bu Ana bahwa aku telah kehilangan uang sehingga tidak bisa memotokopy pada hari itu. Air mataku terus menetes bila mengingat-ingat semua kejadian itu.

Dan hingga kini aku tidak tau jelas tentang penyakit yang diderita oleh Dina sehingga membuatnya sampai meninggal dunia. Menurut kabar, sepulangnya dari sekolah ia akan langsung dibawa ke rumah sakit, tetapi nyawanya sudah terlepas sebelum dinaikkan ke atas mobil.

~*~

Setelah satu minggu kematian Dina berlalu. Aku menjadi lebih pendiam. Aku tidak bisa melupakan canda dan tawanya. Gigi taringnya yang kelihatan indah ketika tertawa itu selalu terbayang di benakku.

“Oh, Tuhan secepat itu kah kau panggil sahabatku itu. Padahal telah lama aku menati kahadirannya dalam hidupku. Sulit bagiku untuk menemukan sosok seperti dia. Aku sangat merindukannya. Tak terasa air mataku selalu menetes di pipi saat mendoakan Dina setiap kali selesai salat.


Tumbuh Mulia, September 2013
Comments